Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial dalam masyarakat/pelapisan sosial/struktur sosial vertikal adalah penggambaran kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hirarkis, berjenjang. Dalam masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan karena kehidupan manusia terdapat nilai.

Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah mendapatkannya, dan oleh karenanya memberi “harga” pada penyandangnya.

Keberadaan pelapisan sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat diferensiasi masyarakatnya. Apabila tingkat diferensiasinya rendah, maka pelapisan sosialnya juga kurang terlihat.

Struktur Biososial

Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi sosial) dapat terlihat lewat sifat mata pencaharian masyarakat bersangkutan. Dalam hal kekuatan fisik, kaum laki-laki tergolong lebih kuat daripada wanita.

Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum pria tidak semata karena keunggulan fisiknya. Faktor lain yang ikut menopangnya adalah berkaitan dengan komposisi jenis kelamin penduduk desa, yang dalam hal ini merupakan salah satu aspek struktur horisontal masyarakat desa.

Kedudukan sosial yang tinggi untuk kaum usia tua juga terlihat di bebagai daerah di Indonesia. Sama halnya dengan kedudukan kaum laki-laki, kedudukan kaum tua ini juga sering dilegitimasi dengan ketentuan-ketentuan adat atau tradisi, di lingkup kesukuan ataupun yang lebih kecil (lingkup perdesaan).

Istilah sesepuh, pinisepuh, tetua dan lainnya, yang berbeda-beda untuk berbagai daerah/desa adalah cerminan dari terpandangnya kaum tua ini.

Desa Satu Kelas dan Dua Kelas

Smith dan Zopf (1970) mengemukakan adanya dua tipe desa, yakni one-class system (tipe satu kelas) dan two-class system (tipe dua kelas). Desa tipe satu kelas dapat terlihat sebagai tipe desa yang pemilikan tanah warganya rata-rata sama. Perbedaan yang ada tidak bersifat jenjang.

Sedangkan desa tipe du kelas tampak sebagai desa yang di dalamnya terdapat sejumlah keci warga yang memiliki lahan yang amat luas, dan selebihnya-dalam jumlah besar-merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian.
Terdapat dua macam desa tipe satu kelas. Pertama, desa satu kelas yang pemilikan lahan warganya rata-rata luas. Kedua, desa satu kelas yang pemilikan lahan warganya rata-rata sempit.


Menurut Smith dan Zopf tipe desa satu kelas jenis family sized farm (rata-rata pemilikan tanah warganya luas) menciptakan stratifikasi sosial yang tidak tajam. Sebaliknya, desa tipe dua kelas menciptakan stratifikasi sosial yang tajam, sekaku sistem kekastaan.

Secara umum, sistem pemilikan tanah pertanian di Indonesia bukan dominan desa tipe dua kelas, baik pertanian pangan maupun perkebunannya. Namun, secara umum jelas terlihat bahwa di luar Jawa degan tingkat kepadatan penduduknya yang masih rendah, pemilikan/penguasaan tanah rata-rata petaninya lebih luas daripada petani di Jawa umumnya.

Dimensi-dimensi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial bagian dari proses perubahan dan perkembangan sosial. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara stratifikasi yang terdapat dalam desa tipe satu kelas dan desa tipe dua kelas. Sebagaimana pada desa tipe dua kelas di dalamnya terdapat dua kategori sosial yang berbeda dan terbelah secara senjang. Apabila  dari kesenjangan yang ada serta kecenderungan yang antagonis antara dua kelompok ini, maka polarisasi sosial lebih mengena ntuk menandai situasi demikian.

Stratifikasi sosial sebagai suatu piramida sosial akan lebih terlihat pada desa tipe satu kelas, yakni jika memenuhi dua syarat berikut. Pertama, apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak bersifat mutlak (sepenuhnya sama). Kedua, apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sektor pertanian yang dapat menjadi alternatif bebas bagi warganya.

Sutardjo Kartohadikoesoemo memberikan gambaran tentang penggolongan masyarakat desa di Jawa yang berlandaskan kepemilikan tanah sebagai berikut.Warga baku, ialah warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah, dan tanah pekarangan. Warga desa yang memiliki rumah dan tanah pekarangan. Selanjutnya, warga yang memiliki rumah di atas pekarangan orang lain. Warga desa yang kawin dan mondok di rumah orang lain, orang-orang tua, penganten baru, orang baru.Pemuda yang belum kawin.

M. Jaspan (1961: 12) menggambarkan adanya empat pelapisan sosial masyarakat desa di daerah Yogyakarta, yaitu kuli kenceng, kuli gundul, kuli karangkopek, dan indung tlosor.

Menurut ter Haar (1960), pelapisan sosial masyarakat desa terbagi atas: Golongan pribmi pemilik tanah, golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja, dan golongan yang hanya memiliki rumah saja di atas pekarangan orang lain.

Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa dibedakan atas :
a. Keturunan cikal bakal pemilik tanah
b. Pemilik tanaha di luar go;ongan
c. Yang tidak memiliki tanah

Materi IPS Kelas IX Semester I K13: Perdagangan Internasional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *