Sejarah Portugis Di Malaka serta Pengaruhnya bagi Indonesia

Materi pembelajaran kita kali ini adalah tentang sejarah dan pengaruh Portugis di Malaka. Kita akan mempelajari motivasi pelayaran Portugis dan Spanyol berbeda dengan Inggris dan Belanda.  Pelayaran Belanda dan Inggris lebih bersifat komersil. Sedangkan Spanyol dan Portugis pengembaraannya membawa semangat perang Salib. Mereka menghindari pedagang muslim. Pada abad ke-15,

Teknologi Portugis

Portugis telah mencapai kemajuan dalam bidang teknologi. Mereka banyak menciptakan kapal-kapal yang lebih cepat dan lebih mudah terkendalikan. Dengan dorongan Pangeran Henry (1394-1460) dan para pelindung lainnya, bangsa Portugis memulai usaha pencarian emas, kemenangan dalam peperangan, dan memutuskan jalur perdagangan maritim dengan pedagang-pedagang muslim, dengan menyusuri pantai barat Afrika.

Karena pedagang-pedagang muslim di bawah Kesultanan Turki Ottoman menguasai jalur dagang maritim antara Asia dan Eropa, maka Portugis menempuh dua cara. Pertama, memperluas kekuasaan dan pengaruhnya atas Cochin.

Kedua, memperluas pengaruhnya ke Laut Merah dan Selat Malaka. Kedua cara tersebut lambat menyukseskan kekuasaan Portugis di seberang lautan. Maka, Alfonso de’Albuquerque menyadari perlunya peperangan di laut. Pada 1503 Alfonso de Albuquerque berlayar dari Portugal menuju India. 1510 Goa berhasil takluk.

Letak Malaka yang Strategis

Secara geografis Malaka merupakan kota yang kecil, namun merupakan pelabuhan besar untuk penjualan komoditi berharga dunia. Junk-junk dari China datang dan membawa emas, perak, mutiara, musk, obat-obatan, dan lain-lain.

Junk-junk dari Jawa membawa banyak senjata seperti tombak, lembing, pedang, keris, dan gesper. Kapal-kapal yang datang dari Maluku membawa cengkih, kopi dari Kalimantan, pala dan bunga pala dari Banda, dan kayu cendana dari Timor, emas dan lada dari Sumatra.

Pengaruh Portugis di Malaka dan Strateginya

Bagi Portugis, Malaka bukan hanya sebagai pelabuhan yang kaya dan menjanjikan kemakmuran, tetapi juga area pedagang muslim yang bisa menjadi ancaman. Raja Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira ke Malaka untuk mengadakan persahabatan dengan sultan, dan menetap di sana sebagai wakil raja Portugal di sebelah timur India.

Sultan dan Bendahara Malaka menyambut Sequeira dengan sangat hormat. Dalam pembicaraan mereka sepakat  untuk menciptakan kedamaian, antara raja Portugal dan sultan. Kapal-kapal Portugis boleh berlabuh sebelum kapal-kapal asing lainnya.

Sultan Menguair Portugis

Namun pada kenyataannya, para pedagang asing terutama orang Jawa dan Gujarat mendapat perhatian lebih dari yang lain, termasuk Portugis. Mereka yang ingin menghancurkan orang Portugis menasehati Bendahara untuk mengusir orang Portugis. Bendahara meyakinkan Sultan untuk mengusir orang Portugis dari Malaka.

Akibatnya, beberapa anak buah Sequeira ditawan. Beberapa diantaranya dibunuh. Sequeira dan empat kapalnya, juga turut diserang dan berhasil meloloskan diri setelah berlayar ke laut lepas. Rempah-rempah yang dibawanya dari Banda dan Maluku berhasil diselamatkan (NAM, 1993:89; Ricklefs, 1998:33).

Konflik dalam Kerajaan

Akibat tindakan sultan, Albuqurque bertolak dari Goa dengan kekuatan 1.200 orang dan tujuh belas atau delapan belas kapal menuju Malaka pada April 1511. Setelah tiba di Malaka terjadi peperangan.

Pada saat yang sama, di Malaka terjadi konflik antara Sultan Mamud Shah dengan puteranya, sehingga pertahanan lautnya tidak siap menerima serangan Portugis. Faktor penyebab takluknya Malaka (1511) antara lain :

  1. Portugis mampu mengkonsentrasikan tembakan-tembakan meriam yang sangat besar yang tidak pernah terlihat di bawah angin (Asia Tenggara)
  2. Karena unsur pendadakan
  3. Kebanyakan penduduk kota segera meninggalkan sultan (Reid, 1999:361)

Pengaruh Portugis di Malaka beserta Pencarian Rempah-rempah

Albuquerque tinggal di Malaka sampai November 1511. Selama di sana, ia mempersiapkan pertahanan untuk menahan setiap serangan orang-orang Melayu dan memerintahkan agar kapal-kapal Portugis pertama melakukan pelayaran pencarian kepulauan rempah-rempah (Ricklefs, 1998:33).

Sejak saat itu Malaka dikuasai Portugis. Lalu lintas pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka dikontrol ketat dengan angkatan lautnya, sehingga menjadi ancaman bagi para pedagang muslim. Hal ini menyebabkan pedagang muslim tersebar di beberapa pusat perdagangan seperti Aceh dan Banten.

Bangkitnya Aceh dan Banten

Berdirinya Aceh pada 1520-1524 telah menyatukan negara-negara pelabuhan merdeka di pantai barat Sumatra seperti Baros, Daya, Lamuri, Pidie, dan Pasai. Selama pemerintahan Sultan Alauddin Ri’yat Syah al-Kahar (1539-1571), perdagangan di semua pelabuhan terpusat di Banda Aceh yang menjadi pelabuhan muslim utama di Selat Malaka (Reid, 1999:282).

Perdagangan lada yang dahulu lewat Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah ke dunia barat, berangsur-angsur bergeser melalui Tanjung Harapan. Para pedagang Muslim yang berniaga antara Malabar dan Aden tergusur oleh Portugis. Mereka dahulu betah di Malaka.

Aceh Melawan Portugis

Tetapi setelah Portugis berkuasa, mereka tidak mau membuang sauhnya di kaki benteng-benteng Portugis. Mereka lebih suka berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatra (Lombard 2008:63-64).

Pada bagian kedua abad ke-16, Aceh tampil sebagai benteng timur yang kokoh bagi perang sabil Islam melawan Portugis. Dalam tahun 1560-an, perdagangan maritim meningkat pesat, khususnya lada.

Pengaruh Portugis di Malaka dan Upaya Aceh Merebut Malaka

Sebagian rempah-rempah dari saudagar muslim pindah ke barat melalui pelabuhan Aceh (Reid, 2011:77). Upaya Aceh merebut Malaka dari Portugis terjadi antara 1529 dan 1587, dan yang terbesar tahun 1558. Armada Aceh berhasil menduduki ibukota selama satu bulan.

Namun, Aceh mendapat tiga kali serangan dari Jepara pada 1570-1575. Di tengah pemberontakan negeri-negeri di bawahnya, Sultan Aceh Alauddin Ri’yat berdamai dengan Portugis (Hall, 1988:212). Dominasi Aceh dalam perdagangan maritim mengalami kemunduran dan kembali bangkit pada bagian pertama abad ke-18.

Kejayaan Aceh

Puncak kejayaan Aceh dicapai pada masa Iskandar Muda (1607-1636). Menurut Lombard (2008:143) dalam abad ke-17, sultan Aceh adalah raja pulau Sumatra yang tak ada tandingnya. Tidak hanya pantai-pantai, tetapi juga hampir seluruh perniagaan di bawah kekuasaannya.

Luasnya wilayah itu mempengaruhi kebijakan sultan Aceh. Pertama, berlaku monopoli perdagangan lada. Kedua, kebutuhan akan tenaga kerja pertanian untuk menanam padi mendorong sultan menambah penduduk kotanya (Lombard, 2008:144-145).

Upaya Mengamankan Perdagangan

Augustin de Beaulieu (1587-1637), yang memimpin tiga kapal Perancis dalam pelayaran ke Hindia tiba di Sumatra tahun 1620, menyebutkan bahwa penduduk setempat adalah pengrajin yang cukup terampil, khususnya dalam membuat kapal. Ini merupakan salah satu pengaruh Portugis di Malaka

Untuk mengamankan perdagangan maritim dan wilayah kekuasaannya, sultan Aceh mengoperasikan 100 kapal. Sebagian berada di Aceh dan lainnya di Daya dan Pedin. Kemajuan perdagangan Aceh karena hubungannya dengan bangsa lain. Hubungannya dengan China tercatat dalam sebuah panduan laut yang sebelum atau dalam abad ke-17 yang mendeskripsikan jalan pelayaran dari Banten ke Aceh melalui pantai barat Sumatra.

Pelabuhan Ramai Pedagang

Sumber China juga menyebutkan bahwa betapa pelabuhan itu menarik para pedagang karena mereka yang datang berganda keuntungannya (Lombard, 2008:163).

Pedagang-pedagang Benggali datang dengan kapas, kain, candu, dan guci besar berisi mentega yang terbuat dari susu kerbau. Orang-orang Malabar datang membawa ikan asin dan terasi (Lombard, 2008:168-169). Seorang pedagang (Francois Martin) yang ikut dalam kapal Prancis yang pimpinan Micel Frotet dan Sieur de la Bardeleire berangkat dari pelabuhan Breton pada Mei 1602 tiba di Aceh bulan Juli 1602.

Dalam catatan hariannya menyebutkan banyak kedai milik para pedagang berpakaian gaya Turki yang datang dari Nagapatinam, Gujarat, Tanjung Kanyakumai, Kalikut, Srilangka, Siam (Thailand), Benggala dan beberapa tempat lain.

Pedagang dari Berbagai Negara dan Daerah

Selain saudagar India dan China, Aceh juga menjalin hubungan dengan para pedagang Jawa, Siam, Turki, Perancis, Inggris, dan Belanda. Hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa itu menambah luas jaringan perdagangan maritim kota pelabuhan Aceh.

Perkembangan Banten setelah Portugis menguasai Malaka tahun 1511, ketika Selat Sunda menjadi rute alternatif para pedagang muslim. Penguasa Banten mengirim sebuah pesan kepada Malaka, bahwa mereka akan mengembalikan jung yang pernah masuk penjara tahun 1518.

Banten

Banten bukan hanya berusaha berdamai dengan Malaka, tetapi juga meminta bantuan untuk menghadapi ancaman orang-orang Islam dari Demak pimpinan Patih Unus. Portugis tidak melewatkan kesempatan itu, dengan meminta hak membangun sebuah benteng pertahanan di Banten sebagai imbalan atas bantuan militernya (Guillot, 2008:266-267).

Pada 1522, kapitan Malaka Jorge de Albuquerque mengirimkan utusan pimpinan Henrique Leme, yang pernah ke Banten 1511-1514. Pada Agustus 1522, sebuah kesepakatan  kedua pihak. Portugis memperoleh kesempatan berdagang di Banten dan membeli lada tanpa ada batasan apapun.

Raja Portugal, Dom Jaoa III, setuju dengan rencana tersebut. Maka, Fransisco de Sa pindah dari Lisbon pada 1524, dengan armada kapal yang pimpinan Vasco da Gama, untuk memimpin pembangunan itu.

Kejayaan Banten

Setelah Sunan Gunungjati, penguasa Banten bukan lagi raja vassal dari Demak, melainkan kerajaan yang merdeka. Banten merdeka berdiri oleh Sultan Hasanuddin tahun 1568 dan menjadi kaya sebagai pusat utama pembelian lada.

Selain itu, Banten merupakan negara pelabuhan yang kaya, dan mencapai puncaknya pada masa sultan independen terakhirnya, Abdul Fatah Ageng (1561-1682) (Reid, 1999:283). Banten merupakan pelabuhan ekspor lada terbesar pada pertengahan abad ke-17. Musuh utamanya adalah Batavia.

Perang Batavia dan Banten

Di bawah pemerintahan Sultan Afdulfatah Ageng (1651-1682), Banten merupakan pusat perdagangan alternatif antarbenua, di samping pusat bagi semua pihak yang menentang VOC. Pada 1680, ketika hubungan sultan dan Batavia meningkat menjadi perang terbuka antara Batavia dan Banten, putera mahkota menawan ayahnya di keratonnya kemudian mengambil alih pemerintahan.

Maret 1682, sultan berhasil mengambil kembali kekuasaannya. Maret 1683, VOC terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan di Banten, dengan mendukung putera mahkota. Sejak saat itu kemerdekaan Banten menjadi terbatas dan perdagangan lada di bawah monopoli Belanda (Reid, 1999:373).

Sumber : Abd Rahman Hamid,2015:Sejarah Maritim Indonesia, Bab VII. Yogyakarta:Ombak.

Demikian materi kita tentang pengaruh Portugis di Malaka. Semoga menambah pengetahuan kita dan selamat belajar. Baca juga materi pelajaran IPS lainnya di tautan berikut:

POTENSI CANDI GEDONGSONGO SEBAGAI EKOWISATA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *